Karya Mushaf Nusantara Dikoleksi Eddy
Rumpoko dan Jinung
Sebelum berbelok menjadi pelukis kaligrafi kontemporer, Fatoni belajar melukis realis kepada Kubu Sarawan. Ia termotivasi menekuni kaligrafi karena ingin berkesenian sambil berdakwah.ARIS SYAIFUL ANWAR
Ruang tamu rumah Imron di Jalan Mawar
Merah, persis di belakang pondok pesantren Manba’ul Ulum Dusun Sukorembug Desa
Sidomulyo terlihat adem. Bukan hanya karena tanaman bunga yang ada di halaman,
suasana juga terbangun dari dua lukisan kaligrafi kotemporer berukuran besar.
Satu kaligrafi ayat kursi dan sebuah lagi kaligrafi surat terakhir surat Al
Baqarah.
Fatoni yang mengenakan baju koko putih
lengan pendek dipadu sarung hijau sedang duduk santai di ruang tamu. Sambil
sesekali menyeruput kopi, dia bercerita aktivitas melukis, mulai dari realis
hingga kaligrafi kotemporer.
”Hingga sekarang di sela-sela kesibukan
mengajar, saya tetap melukis realis dan kaligrafi kotemporer,” kata guru seni
rupa di SMP Raden Patah ini.
Bapak 41 tahun ini mengenal kaligrafi
dari KH Nuryasin yang sekarang menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Batu. Sejak kecil sudah mempelajari khath (seni kaligrafi)
Arab. Sehingga semakin tertarik untuk mempelajarinya.
Setelah lulus dari SMAI Hasyim Asy’ari,
Imron belajar melukis ke Kubu Sarawan di pondok seni yang sekarang menjadi
galeri Raos. Ia satu angkatan dengan seniman lainnya, seperti Fadjar “Salewo”.
Fatoni belajar melukis realis.
Setelah tiga bulan belajar, ia sudah
mendapat tawaran melukis. Lukisan realis yang pertama adalah tokoh revolusi
Iran Ayatullah Khomeini. Hingga sekarang lukisan tersebut dia simpan sebagai
kenang-kenangan.
Pada tahun 1993 hingga 2002, Fatoni
mengikuti pendidikan non formal di pondok pesantren Slatri Kasembon selama 7
tahun. Selanjutnya meneruskan mondoknya di Lirboyo selama 2 tahun. ”Saya di
sela-sela mondok masih menyempatkan melukis, namun belum kaligrafi kotemporer,”
kata bapak yang hobi memelihara burung kenari ini.
Pada 1996, ia pernah masuk dalam 30
seniman yang terpilih mengikuti pameran di Sarinah Plaza. Dia mengikuti seleksi
pelukis muda Malang Raya bersama Abdul Rokhim, pelukis realis asal Sidomulyo.
Fatoni mulai mendalami kaligrafi pada
2004. Ia termotivasi oleh lingkungan yang membentuknya dekat dengan kaligrafi.
Seperti keluarga dan pondok pesantren. Ia juga termotivasi seniman lainnya yang
menyarankan untuk menjadi seniman kaligrafi. Karena di Kota Batu belum ada yang
menjadi seniman kaligrafi.
Selain itu, menurutnya melalui
kaligrafi, bisa sebagai media dakwah. Apabila ada umat Islam yang kesulitan
menyampaikan dakwah melalui lisan, bisa menggunakan media tulisan kaligrafi.
Dengan motivasi itu, ia tak lagi melukis
kaligrafi seenaknya. Dia berusaha mempelajari kaidah yang dianut seniman
kaligrafi seluruh dunia. Dalam satu karya tidak hanya satu jenis
kaligrafi, namun lebih dari satu. Kemudian diberi motif-motif di dalamnya.
”Saat itu saya pelajari kaligrafi yang
mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk
yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang
baku,” kata dia.
Fatoni menyebutkan ada tujuh jenis
khath, yaitu Naskhi, Tsulusi, Diwani, Kufi, Farisi, Diwani Jali, Tiq’ah. Semuanya
itu dia pelajari satu persatu, kemudian dikombinasi dalam satu karya sehingga
melahirkan kaligrafi kotemporer.
Untuk menguatkan aliran kontemporer itu,
kaligrafi digoreskan pada kanvas, dilukis-lukis sedemikian rupa, diberi
kombinasi warna beragam, dan tidak terikat satu khath.
Karya kaligrafinya berjudul mushaf
nusantara dibeli Eddy Rumpoko. Kaligrafi itu dibuat 2011, berisi kaligrafi
surat Al-Fatihah dan awal surat Al-Baqarah dengan ukuran 100 X 200 centimeter.
Kaligrafi itu dipamerkan di galeri Raos. ”Tapi sudah dilirik Pak Wali dan
langsung dibeli. Padahal pameran masih kurang 4 hari. Langsung dibawa pulang
Pak Wali, kata sarjana syariah Universitas Islam Malang (Unisma) lulusan 2006.
Mantan Wakil Wali Kota Batu Budiono juga
tertarik dengan kaligrafi kontemporer karyanya. Termasuk Pjs Direktur
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Batu Zainul Arifin “Jinung” juga
melirik karya kaligrafinya. ”Satu bulan yang lalu pak Jinung mengapresiasi
karya saya,” kata Fatoni yang menolak menyebutkan harga karya kaligrafinya.
Berkat kemampuannya di bidang kaligrafi,
pada 2007 dan 2009 ia menjadi hakim penulisan Al Qur’an dalam Musabaqoh
Tilawatil Qur’an (MTQ) Provinsi Jawa Timur. ”Sebuah kebanggaan tersendiri, bisa
menjadi dewan hakim,” kata Fatoni.
Ke depan, suami dari Anis Naila Khusna
ini bercita-cita membuat pameran tunggal yang isinya karya kaligrafi
kotemporer. Sehingga ia bisa berdakwah melalui sebuah lukisan. Dia juga membuka
sanggar di rumahnya untuk belajar kaligrafi. Sudah tiga tahun ini ia juga
mengajar di MAN 2 batu mengenai kaligrafi. Saat ini dia juga aktif pembinaan di
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Kota Batu. (*/yos)
Sumber bacaan : http://radarmalang.co.id
0 komentar:
Posting Komentar