Bagi warga NU masa kini, nama KH Muchith Muzadi
menjadi legenda serta saksi hidup perjalanan perkembangan jam’iyyah
Nahdlatul Ulama (NU) dari masa ke masa. Bagaimana tidak, kiai kelahiran
Bangilan Tuban 90 tahun silam tersebut, memulai karir perjuangannya
“secara resmi” di NU sejak tahun 1941.
Pada tahun itu, ia resmi menjadi anggota NU ditandai dengan kepemilikan kartu tanda anggota (Rasyidul ‘Adlawiyah). Kartu tersebut diperolehnya, saat ia menjadi santri Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Tebuireng Jombang. Sejak saat itu ia kemudian ikut termasuk dalam sebelas orang yang mendirikan Partai NU di Tuban (1952), lalu di tahun yang sama ia juga mengemban amanah sebagai Ketua GP Ansor Tuban.
Kepindahan tempat tinggalnya ke daerah lain, tak menyurutkan kakak KH Hasyim Muzadi ini untuk terus berjuang bersama NU. Sekretaris GP Ansor Yogyakarta (1961-1962), Sekrearis GP Ansor Kabupaten Malang dan Sekretaris PCNU Jember (1968-1975), wakil ketua PCNU Jember (1976-1980), Pengurus LP Ma’arif PWNU Jatim (1980-1985), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim (1992-1995), Rais Syuriyah PBNU (1994-2004) dan Mustasyar PBNU sejak Muktamar NU ke-31 Boyolali (2004).
Bahkan ketika NU masih bersama Masyumi, Kiai Muchith tak ketinggalan untuk ikut mengabdi, antara lain sebagai Komandan Kompi Hizbullah merangkap anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tuban (1947-1951). Karirnya di dalam pemerintahan pun tak kalah mentereng, dirinya pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudian menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Tuban (1959-1961).
Meski demikian, Mbah Muchith tetap dikenal sebagai pribadi yang bersahaja. Segala jabatan yang diembannya, tak membuatnya tertarik untuk menumpuk banyak harta. Satu nasihat dari salah satu sesepuh NU,KH Munasir Ali. “Chith, dulu orang-orang tua masuk NU, niat ndandakno awak (memperbaiki diri),” kata Kiai Muchith menirukan ucapan Kiai Munasir.
Namun, sayangnya pesan tersebut kini banyak tak dijalankan para warga NU. “Orang (sekarang,-red) masuk NU itu bukan ndandakno awak tapi rebutan iwak (berebut kedudukan),” begitu gurauan Kiai Muchith.
Khittah NU
Keterlibatannya begitu besar, dalam perumusan konsep menjelang muktamar di Situbondo tahun 1984 yang kemudian memutuskan khittah jam’iyyah NU, kembalinya NU ke kancah perjuangan, meninggalkan dunia politik praktis. Bersama KH Achmad Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU (1984-1989), Kiai Muchith sering disebut sebagai sosok yang mewarnai pemikiran dan gagasan Kiai Achmad Shiddiq. Hampir semua ide-ide cemerlang Kiai Achmad disampaikan terlebih dahulu kepada Kiai Muchith untuk dikonsep dan diketik dengan baik, sebelum disebarkan ke khalayak. Termasuk konsep “Khittah NU, Islam dan Asas Tunggal” yang fenomenal.
Tak Kenal Lelah
Di usianya yang tak lagi muda, semangat tokoh satu ini untuk terus berjuang bersama NU, memang patut untuk kita tiru. Sebagai sesepuh dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mbah Muchith, tak pernah lelah untuk memberikan semangat kepada generasi penerus.
Seperti yang dikatakannya, saat menerima kunjungan dari para Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, beberapa waktu lalu, di rumahnya, Malang. “Cintailah kiai dan rawatlah NU,” pesan Mbah Muchit singkat.
Tak ada kata menyerah bagi Mbah Muchith. Dalam kondisi yang seperti itu, dia masih selalu aktif dalam berbagai kegiatan NU. Meski tempat acara itu, berada di Jakarta atau Surabaya, dia datang sambil duduk di kursi roda. “Mumpung aku isih urip (selagi saya masih hidup),” tuturnya. (Ajie Najmuddin)
Sumber pendukung: Ahmad Mundzir dan Nurcholis, Perjalanan NU Tuban, 2014.
Smmber : http://www.nu.or.id
Pada tahun itu, ia resmi menjadi anggota NU ditandai dengan kepemilikan kartu tanda anggota (Rasyidul ‘Adlawiyah). Kartu tersebut diperolehnya, saat ia menjadi santri Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Tebuireng Jombang. Sejak saat itu ia kemudian ikut termasuk dalam sebelas orang yang mendirikan Partai NU di Tuban (1952), lalu di tahun yang sama ia juga mengemban amanah sebagai Ketua GP Ansor Tuban.
Kepindahan tempat tinggalnya ke daerah lain, tak menyurutkan kakak KH Hasyim Muzadi ini untuk terus berjuang bersama NU. Sekretaris GP Ansor Yogyakarta (1961-1962), Sekrearis GP Ansor Kabupaten Malang dan Sekretaris PCNU Jember (1968-1975), wakil ketua PCNU Jember (1976-1980), Pengurus LP Ma’arif PWNU Jatim (1980-1985), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim (1992-1995), Rais Syuriyah PBNU (1994-2004) dan Mustasyar PBNU sejak Muktamar NU ke-31 Boyolali (2004).
Bahkan ketika NU masih bersama Masyumi, Kiai Muchith tak ketinggalan untuk ikut mengabdi, antara lain sebagai Komandan Kompi Hizbullah merangkap anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tuban (1947-1951). Karirnya di dalam pemerintahan pun tak kalah mentereng, dirinya pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudian menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Tuban (1959-1961).
Meski demikian, Mbah Muchith tetap dikenal sebagai pribadi yang bersahaja. Segala jabatan yang diembannya, tak membuatnya tertarik untuk menumpuk banyak harta. Satu nasihat dari salah satu sesepuh NU,KH Munasir Ali. “Chith, dulu orang-orang tua masuk NU, niat ndandakno awak (memperbaiki diri),” kata Kiai Muchith menirukan ucapan Kiai Munasir.
Namun, sayangnya pesan tersebut kini banyak tak dijalankan para warga NU. “Orang (sekarang,-red) masuk NU itu bukan ndandakno awak tapi rebutan iwak (berebut kedudukan),” begitu gurauan Kiai Muchith.
Khittah NU
Keterlibatannya begitu besar, dalam perumusan konsep menjelang muktamar di Situbondo tahun 1984 yang kemudian memutuskan khittah jam’iyyah NU, kembalinya NU ke kancah perjuangan, meninggalkan dunia politik praktis. Bersama KH Achmad Shiddiq, Rais Aam Syuriyah PBNU (1984-1989), Kiai Muchith sering disebut sebagai sosok yang mewarnai pemikiran dan gagasan Kiai Achmad Shiddiq. Hampir semua ide-ide cemerlang Kiai Achmad disampaikan terlebih dahulu kepada Kiai Muchith untuk dikonsep dan diketik dengan baik, sebelum disebarkan ke khalayak. Termasuk konsep “Khittah NU, Islam dan Asas Tunggal” yang fenomenal.
Tak Kenal Lelah
Di usianya yang tak lagi muda, semangat tokoh satu ini untuk terus berjuang bersama NU, memang patut untuk kita tiru. Sebagai sesepuh dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mbah Muchith, tak pernah lelah untuk memberikan semangat kepada generasi penerus.
Seperti yang dikatakannya, saat menerima kunjungan dari para Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, beberapa waktu lalu, di rumahnya, Malang. “Cintailah kiai dan rawatlah NU,” pesan Mbah Muchit singkat.
Tak ada kata menyerah bagi Mbah Muchith. Dalam kondisi yang seperti itu, dia masih selalu aktif dalam berbagai kegiatan NU. Meski tempat acara itu, berada di Jakarta atau Surabaya, dia datang sambil duduk di kursi roda. “Mumpung aku isih urip (selagi saya masih hidup),” tuturnya. (Ajie Najmuddin)
Sumber pendukung: Ahmad Mundzir dan Nurcholis, Perjalanan NU Tuban, 2014.
Smmber : http://www.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar